DPRD KBB Didesak Beranikah Membuat Pansus Rotmut Eselon 2

Bandung Barat22 Dilihat

Foto/Istimewa
Tutwurihandayani.my.id–Kondisi birokrasi Kabupaten Bandung Barat memasuki fase paling tidak stabil dalam beberapa tahun terakhir. Konflik internal, kabinet kecil dalam dinas, dan keresahan ASN bermunculan setelah rotasi-mutasi pejabat dijalankan secara sporadis dan dianggap tidak berbasis meritokrasi.

Menurut Tokoh Masyarakat Pendiri Kabupaten Bandung Barat dan juga mantan Anggota DPRD KBB, Jajang Solihin, Situasi ini diperparah dengan dugaan keterlibatan Sekda AZ dalam pengaturan jabatan dan permainan anggaran lintas dinas.

”Rotasi-mutasi yang dilaksanakan belakangan ini disebut banyak pihak sebagai dagang sapi politik. Jabatan dipilih bukan berdasarkan rekam jejak, tetapi berdasarkan kesepakatan transaksional. ASN yang profesional tersingkir, sementara “titipan” menguasai posisi strategis. Lima dinas besar yang selama ini menjadi pusat program dan proyek menjadi sasaran paling mencolok dalam skema ini, beranikah DPRD KBB, buat pansus rotmut,” kata Jajang.

Jajang pun, menyebut kondisi semakin keruh ketika muncul laporan adanya bancakan anggaran dalam pembahasan perubahan APBD. Angka Rp130 miliar disebut-sebut telah didistribusikan secara tidak wajar ke beberapa SKPD.

”Prosesnya berlangsung melalui orbit Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin AZ, dan diamankan melalui badan anggaran legislatif yang melibatkan DAM dan sejumlah anggota DPRD tertentu,” ungkapnya.

Ia juga mengatakan, menurut sumber internal, beberapa kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tidak berani menolak meskipun merasa kebijakan tersebut tidak rasional. Ada ketakutan terbuka bahwa penolakan akan menggugurkan jabatan atau menghentikan akses anggaran untuk program. Akibatnya, birokrasi berubah dari sistem administrasi ke arena kompromi dan tekanan.

”Di sisi lain, pelayanan publik ikut terdampak. Kegiatan teknis menjadi kacau karena perpindahan pejabat penting dilakukan tanpa masa transisi. Beberapa program strategis, termasuk penanganan stunting, pendidikan, dan infrastruktur desa, tertunda karena anggaran dan pejabat teknisnya berubah mendadak,” jelas Jajang.

”Belum reda polemik mutasi, muncul kembali sorotan terkait pengalihan anggaran dari sejumlah dinas ke Kominfotik. Tidak sedikit yang menduga dinas ini dijadikan pintu masuk mengamankan proyek dan publikasi. Skema itu disebut sebagai strategi AZ dan jaringannya mengendalikan proyek lintas sektor dengan kontrol komunikasi sebagai penguat,” imbuhnya

Jajang mengatakan, dampak psikologis pada ASN juga tidak bisa diabaikan. Banyak pejabat eselon merasa kehilangan arah karena keputusan birokrasi tidak lagi mengikuti mekanisme administrasi, tetapi mengikuti skenario politik anggaran. Rasa tidak percaya terhadap pimpinan tertinggi aparatur pun mulai terbentuk.

”Konstelasi ini akhirnya memantik reaksi berlapis dari masyarakat sipil. LSM, wartawan, mahasiswa dan tokoh masyarakat menyuarakan bahwa masalah ini tidak bisa lagi dianggap isu internal. Mereka melihat bahwa akar persoalan berada di posisi pimpinan birokrasi, yakni Sekda AZ, yang memiliki kendali besar atas TAPD, mutasi, dan interaksi dengan legislatif,” tukasnya.

Desakan agar Bupati Jeje segera menonaktifkan Sekda menjadi narasi dominan dalam diskusi publik Bandung Barat. Masyarakat menilai, jika AZ dibiarkan tetap menjabat, maka kekacauan birokrasi akan berlanjut dan konflik internal ASN akan membesar. Mereka menegaskan bahwa pola kepemimpinan seperti ini tidak bisa dikoreksi hanya dengan teguran atau evaluasi.

”Beberapa tokoh masyarakat bahkan memperingatkan bahwa mosi tidak percaya bisa muncul dari kalangan kepala OPD dan ASN jika Bupati tidak segera bergerak. Kondisi psikologis birokrasi saat ini dianggap kritis karena hilangnya rasa aman, keadilan, dan kepastian administrasi dalam pengambilan kebijakan,” jelas Jajang

”Para analis politik lokal menyebut, Bupati memiliki ruang konstitusional untuk menunjuk Pelaksana Tugas Sekda yang bersih, netral, dan dihormati oleh ASN. Figur baru ini dianggap penting untuk merestorasi kembali rasa percaya dan menutup celah permainan anggaran yang selama ini berjalan,” imbuhnya.

Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi telah menyoroti kegagalan etis dalam tata kelola daerah. Mereka menilai, pejabat yang menjadi sumber kekacauan birokrasi tidak bisa dipertahankan hanya karena kedekatan politik. Jika Bupati abai, mereka siap turun aksi membawa isu ini ke Kejati dan KPK.

LSM antikorupsi juga telah menyiapkan laporan tambahan terkait dugaan dagang anggaran, bancakan rotmut, dan intervensi DN dalam pembahasan badan anggaran. Mereka menilai peran AZ berada pada posisi sentral dalam skema tersebut dan sudah tidak bisa lagi dianggap bajik sebagai pimpinan ASN.

Media lokal menulis berkali-kali bahwa situasi ini tidak akan mereda selama figur yang dianggap biang kekacauan tetap dipertahankan. Mereka mendokumentasikan bahwa keresahan ASN bukan sebatas kegaduhan biasa, tetapi sudah menuju tahap resistensi diam dan kemandekan inisiatif kerja.

”Jika langkah cepat tidak diambil, potensi konflik terbuka di kalangan pejabat bisa muncul. Ketidakpastian arah kebijakan akan mengganggu penyerapan anggaran, perencanaan 2026 dan hubungan antar SKPD. Bahkan, sebagian anotasi internal menyebut langkah boikot diam-diam mulai terjadi di beberapa dinas,” ungkap Jajang.

Dalam kondisi seperti ini, Bupati berada pada titik krusial. Menunda penonaktifan Sekda AZ sama saja dengan mempertaruhkan stabilitas birokrasi, wibawa pemerintahan, dan citra kepemimpinan daerah. Apalagi sorotan publik sudah mengarah langsung pada kemauan politik kepala daerah dalam merespons kegentingan tata kelola.

Para pengamat birokrasi menyarankan agar Bupati tidak sekadar mengganti figur, tetapi memastikan Pelaksana Tugas Sekda yang dipilih memiliki integritas, kemampuan manajerial, dan diterima secara psikologis oleh seluruh ASN. Tanpa pemimpin yang mengayomi, pemulihan birokrasi hanya akan menjadi basa-basi.

Gelombang desakan ini sebetulnya masih dalam fase kendali. Namun jika terus diabaikan, sangat mungkin reaksi publik akan naik menjadi tekanan terbuka di jalanan. Pemerintahan daerah tidak boleh menunggu hingga muncul perlawanan institusional dari ASN sendiri.

”Pada tahap ini, bola ada sepenuhnya di meja Bupati Jeje. Publik menilai, menonaktifkan Sekda AZ bukan semata tindakan administratif, tetapi langkah penyelamatan marwah birokrasi dan penghentian empedu politik anggaran yang kian busuk. Menutup mata berarti ikut membiarkan birokrasi runtuh dari dalam. Harapan besar tentunya ada di Bupati Jeje. Apakah Beliau bijaksana dan bersih dalam mengahdapi carut marut Bandung Barat saat ini ataukah Beliau ikut berpartisipasi terlubat dalam pusaran permain kotor di lingkaran dekat Beliau, seperti kata pepatah ada udang dibalik batu?” pungkas Jajang. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *